Polusi Udara Jakarta, Refleksi Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan

Satu bulan lebih langit ibu kota dihantui oleh polusi udara dan kualitas udara yang buruk. Berbagai pemberitaan tidak kalah hebatnya, bahkan pemerintah dan pakar saling tunjuk terkait sektor dan pelaku sebenarnya dari pencemar udara ibukota. Pemerintah pusat dipimpin langsung oleh Presiden Republik Indonesia sampai turun gunung, dua kali menggelar rapat terbatas terkait penanganan polusi udara di Ibukota DKI Jakarta. Berbagai rencana aksi diserukan untuk menyelesaikan permasalahan polusi udara secara cepat. Kendati demikian, kejadian ini mengajarkan kita lebih dari sekedar mengambil keputusan cepat dalam menuntaskan masalah di depan mata, tetapi refleksi bersama untuk mengamalkan pembangunan berkelanjutan.

Polusi udara, apa dan bagaimana ?

Polusi udara disebabkan adanya pencemaran udara oleh suatu polutan baik logam berat, karbon monoksida (CO), sulfur oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), ozon (O3), dan senyawa organik. Tidak dapat dihindari bahwa semua aktivitas manusia dari sekedar berkendara, memasak, hingga industri, dan pembangkitan energi mencemari udara. Lantas para ahli kerap meneliti suatu ambang batas di mana tiap-tiap polutan berbahaya bagi kesehatan manusia. Salah satunya adalah Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang kerap mengeluarkan pedoman kualitas udara agar menjadi acuan bagi pemerintah-pemerintah di dunia. Pada pedomannya yang terakhir ambang WHO menetapkan ambang batas baku mutu PM2.5 sebesar 5 ug/m3, dan tidak lebih dari 15 ug/m3 paparan PM2.5 selama 24 jam dalam 3-4 hari setahun.

Lantas apa yang dimaksud dengan PM2.5 ?. Entah mengapa para ahli begitu sulit menjelaskannya apa yang dimaksud dengan PM2.5. Mudahnya PM2.5 adalah debu, suatu partikulat yang besarnya 2,5 mikro meter. Sedikit lebih tipis dari jembatan shiratal mustaqim yang selebar rambut dibelah tujuh (kidding!). Mengapa PM2.5 menjadi acuan penting, pasalnya paparan PM2.5 dalam jangka panjang berdampak pada kematian prematur, penyakit kronis jantung, dan infeksi saluran pernafasan akut (WHO, 2021). Bahkan beberapa riset juga mengindikasikan adanya dampak paparan PM2.5 pada ibu hamil dengan gangguan perkembangan janin dan stunting bagi anak batita (NIH, 2022).

Sumber Polusi Udara

Menariknya polusi udara disebabkan oleh kita sendiri manusia atau istilah ilmiahnya anthropogenic. Seperti yang sudah diulas sebelumnya, semua kegiatan yang dilakukan manusia menghasilkan polutan. Lantas apa yang membedakan kualitas udara di desa jauh lebih baik dibandingkan di daerah perkotaan adalah konsentrasinya. Jumlah populasi di kota jauh begitu banyak sehingga perpindahan orang dengan kendaraan bermotor dalam waktu hitungan jam membuat peningkatan polusi udara yang signifikan. Belum lagi kebutuhan energi yang sangat besar, dan sedikitnya vegetasi yang dapat memfiltrasi udara kotor sehingga kualitas udara yang buruk tidak dapat dihindari.

Dalam sebulan terakhir berbagai episode saling tunjuk pelaku pencemaran udara ditayangkan dan kerap diberitakan di berbagai kanal. Tiga sektor: Industri, Transportasi, dan Energi menjadi dalang terjadinya polusi udara di ibukota. Hemat saya tidak ada yang salah dan tidak ada yang paling benar dari statement pakar dan pemerintah tersebut. Layaknya sidik jari, polusi udara dapat diselidiki dari mana penyebabnya. Tingginya pencemar NOx dalam udara dapat diindikasikan bahwa pencemar primer-nya adalah sektor transportasi khususnya yang berbahan bakar diesel. Sedangkan pencemar SOx dalam udara dapat disimpulkan bahwa pencemar primer-nya adalah pembakaran batubara dari sektor energi. Terakhir pencemar O3 banyak dihasilkan oleh boiler-boiler industri. Dengan besarnya wilayah Jakarta dan banyaknya titik-titik pencemar lokal maka berimbas terbentuknya mega-ekosistem yang kompleks. Belum lagi para ahli meteorologi turut menambahkan adanya variabel arah hembusan angin dan fenomena cuaca global, El niño, yang membawa angin kering, menambah rumit pengambilan keputusan dalam menyelesaikan permasalahan polusi udara.

Solusi Polusi Udara

Berbagai tabib bermunculan mengajukan rencana demi rencana untuk menyelesaikan permasalahan polusi udara di ibukota. Tabib transportasi menuntut percepatan transportasi umum untuk disegerakan dengan berbagai turunannya seperti bis listrik, zona rendah emisi, penggunaan kendaraan berbasis baterai, dan turunan lainnya berkaca dari keberhasilan negara-negara eropa barat. Tabib industri bersikeras untuk mewajibkan penggunaan Continuous Emission Monitoring System (CEMS) agar seluruh industri dapat dipantau pembuangannya berkaca dari keberhasilan negara paman sam. Tabib energi datang dengan berbagai inisiatif percepatan pengalihan energi terbarukan, dan efisiensi energi belajar dari negara tirai bambu. Ada pula tabib yang mengusulkan rekayasa hujan buatan dan penyemprotan air di gedung-gedung tinggi agar polutan dapat terbawa oleh air dan jatuh ke tanah seperti yang dilakukan oleh negara penghasil Bollywood.

Tentunya setiap solusi yang dibawa oleh tabib-tabib ini adalah baik, dan memang perlu dijalankan seluruhnya agar dapat menyelesaikan permasalahan polusi udara ibukota. Namun perlu dipahami bahwa Jakarta adalah metropolitan terbesar kedua terpaut satu peringkat di bawah Tokyo, Jepang. Satu kota Jakarta sepadan dengan populasi seluruh warga negara Swedia, atau Norwegia. Tantangan polusi udara DKI Jakarta tidak pernah dihadapi oleh negara manapun. Negara tirai bambu berhasil menyelesaikan permasalahan polusi udara dalam waktu satu dekade yang menghabiskan dana lebih dari 57 Miliar Dollar Amerika Serikat, dengan jumlah populasi hanya dua pertiga dari jumlah populasi aktif kota Jakarta.

Refleksi Bersama Pembangunan Berkelanjutan

Rapat terbatas pemerintah pusat dalam menangani polusi udara ibukota merupakan pintu masuk yang baik. DKI Jakarta tidak mampu menyelesaikan permasalahan polusi udara sendirian karena memang perlu adanya dukungan dari daerah sekeliling Jakarta yang juga menyumbang polutan bergerak dari daerahnya ke wilayah Jakarta. Pembangunan berkelanjutan-lah yang perlu dijadikan sebagai visi bersama baik pemerintah pusat dan daerah dalam menyelesaikan permasalahan ini.

Di sektor transportasi, perlu disadari bersama bahwa car culture di Jakarta harus beralih cepat menjadi transportasi umum yang ramah lingkungan (baik bis listrik, LRT, MRT, dan Commuter line). Maka dari itu pembangunan yang perlu dipercepat antara lain yang berorientasi transit (Transit Oriented Development) seperti halte, stasiun, trayek bis, jalur kereta, jalur sepeda, dan trotoar. Untuk sektor logistik perlu distimulasi peremajaan truk dan kendaraan berat yang menghasilkan emisi rendah. Penggunaan kendaraan berbasis baterai dapat berdampak secara nyata asalkan secara bersamaan didukung dengan pengalihan energi berbasis fosil menjadi sumber energi terbarukan. Sektor energi juga perlu menimbang untuk menghentikan produksi dan penjualan bahan bakar fosil dengan standar di bawah euro 4, dan mengalihkan subsidi untuk menciptakan harga bahan bakar yang rendah emisi untuk seluruh masyarakat. Pengetatan emisi dari sektor industri juga perlu ditegakkan dengan keras agar timbulnya kepatuhan bagi pelaku industri dalam memenuhi kewajibannya.

Tentunya baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu memiliki kreatifitas yang tinggi dalam menciptakan kapasitas finansial untuk mendukung transformasi ini baik stimulasi suku bunga, pinjaman hijau (green bond), pajak karbon dan emisi, maupun instrumen fiskal lainnya. Namun hanya dengan mengedepankan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan kemauan untuk berubah secara bersama-sama sangatlah mungkin Jakarta akan diselimuti langit biru kembali.

———————

Fadhli Zakiy

Technology Enthusiast, IT Principal, Full Stack Developer, Project Manager, and Sustainable Innovator