Kembali lagi terkait pembahasan NGO, jika sebelumnya saya membahas tentang “oprekan” anak IT di NGO kini saya akan mengupas mengenai fundraising di NGO atau lebih kerennya bagaimana NGO mendapatkan pendanaan. Bagi yang belum memahami NGO dapat melihat tulisan saya berikut Mengenal NGO, Organisasi nirlaba dengan misi sosial yang mulia.
Layaknya firma, perusahaan, atau organisasi pada umumnya, NGO juga secara rajin melangsungkan suatu kegiatan pencarian dana yang lebih dikenal dengan istilah fundraising. Analogi terdekat bagi orang awam dalam memahami proses fundraising ini yakni mengikuti proses tender. Contoh ada suatu perusahaan perbankan yang mengumumkan suatu proyek pengadaan aplikasi mobile yang dapat diakses oleh sepuluh juta pengguna dalam satu waktu. Walhasil ratusan perusahaan teknologi berlomba-lomba mengirimkan proposal berisikan “adu jurus” untuk menghadirkan aplikasi tersebut dengan harga termurah.
Kembali ke dunia NGO, jika kita ganti sektor perbankan tersebut menjadi badan pembangunan asing, aplikasi mobile menjadi cetak biru kebijakan transportasi berkelanjutan, jurus-jurus menjadi desain kebijakan non-motorized transport (NMT), proposal tetaplah menjadi proposal, dan viola kira-kira begitu penggambarannya mengenai kesempatan fundraising NGO. Mirip bukan dengan tender-tender pada umumnya.
Money Trap
Fundraising di NGO kerap kali menjadi suatu momok yang berujung pada pertanyaan “lebih penting mana menuntaskan suatu program atau mencari pendanaan ?”. Semakin kompleks suatu tender, semakin banyak waktu yang digunakan untuk tidak mengerjakan misi sosial utama-nya, di lain sisi pendanaan diperlukan NGO untuk mengemban misinya. Terlebih lagi NGO yang banyaknya diisi oleh analyst, researcher, dan engagement officer terpaksa harus “turun gunung”, ikut berjibaku menulis proposal berlembar-lembar dengan bahasa-bahasa finance yang sangat jauh dari misi sosial yang diemban-nya. Peter F. Drucker dalam bukunya berjudul Managing Non-Profit Organization sangat mewanti-wanti terjadinya money trap bagi NGO yang terjebak dalam krisis identitas serius antara menuntaskan misi sosialnya dan mencari pendanaan.
Bahasa-bahasa finance NGO
Terlepas dari itu menjaga kestabilan finansial bagi suatu NGO merupakan hal mutlak. Khususnya demi mengemban misi-misi sosial mereka agar tercapai. Sebelum itu penting untuk dibahas bahasa-bahasa finance di NGO yang tidak lazim dipakai di korporasi lain. Bahkan lebih dari lima tahun saya bergelut di sektor swasta pun, banyak bahasa-bahasa finance yang baru saya temui di NGO.
1. Donor
Donor didefinisikan sebagai organisasi atau kelompok yang memiliki tujuan atau program bersifat non-komersil yang dalam mencapai tujuannya bekerjasama dengan NGO yang handal dan dipercaya dapat membantu sang donor untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam bentuk kerjasamanya termasuk memberikan dana kepada NGO untuk menggaji ahli dan personil, pembelian alat, melakukan workshop, dll.
Donor dapat dianalogikan dengan pemilik tender dan NGO sebagai vendor. Namun lebih kompleks dari sekedar menyelesaikan suatu deliverables, proyek-proyek yang diberikan donor banyak yang bersifat penelitian sehingga banyak juga deliverables yang tidak mengunci dikarenakan banyak hal juga yang NGO tidak dapat lakukan. Misal badan pembangunan suatu negara asing memiliki proyek penuntasan kemiskinan di Lombok Timur, saya kira tidak ada satu NGO-pun dapat menyelesaikannya. Namun NGO-NGO rekanan badan pembangunan asing tersebut mencoba banyak pendekatan misal pengembangan kapasitas masyarakat, promosi daerah wisata, hingga advokasi-advokasi ke pemerintah terkait.
2. Chargibility
Mulai masuk ke bagian finance, Organisasi NGO mematok harga waktu dari personilnya dalam menyusun anggaran yang akan dikirimkan ke donor. Seringnya dimasukkan dalam satuan mandays (gaji per hari). Dalam mandays tersebut tidak jarang NGO yang memasukkan 30%, 50%, atau bahkan 100%. Persentase 30% tersebut diartikan bahwa personil dengan nama tercantum hanya berkontribusi sebanyak 30% dari waktunya untuk mengerjakan proyek milik donor tersebut. Tentunya 100% chargibility sama dengan full-time employee (bekerja penuh) untuk suatu proyek. Praktik ini masih sering ditemui khususnya pada perusahaan konsultan.
3. General Administration, atau Indirect Cost
General administration, atau indirect cost merupakan suatu biaya yang dihitung dalam persentase dari total pengeluaran yang berkenaan langsung dengan suatu proyek. Biasanya biaya ini dipakai untuk hal-hal yang tidak dapat dimasukkan ke dalam pengeluaran langsung proyek seperti biaya sewa kantor; utilitas listrik dan internet; pembelian laptop karyawan; gaji HR dan manajemen; yang notabene-nya diperlukan oleh suatu organisasi NGO namun tidak berkenaan langsung dengan proyek. Analoginya sangat dekat dengan management fee perusahaan kontraktor, dan Event Organizer.
NGO berperang mati-matian untuk menekan biaya indirect cost organisasi mereka. Karena semakin kecil biaya indirect-nya maka semakin kompetitif proposal suatu organisasi dari segi harga. Kisaran indirect yang diterima oleh donor asing berada di antara 10-15% dari total direct cost.
4. Cap Gap atau Capital Gap
Lantas bagaimana jika suatu organisasi memiliki indirect cost lebih dari yang diizinkan oleh donor. Biasanya mereka akan mencatatkan pada pembukuannya sebagai Cap Gap atau Capital Gap. Beberapa organisasi NGO internasional sering me-lobby kantor pusatnya untuk meminta tambahan dana guna menombok kekurangannya tersebut. Namun tidak jarang juga badan NGO mencari pendanaan lain untuk menutup Cap Gap-nya dari donor-donor lain yang tidak mengikat.
5. Under Recovery dan Over Recovery
Masih berbicara mengenai indirect cost. Saat suatu organisasi NGO sudah mendapatkan proyek dari donor mereka kemudian membuat perencanaan biaya termasuk memikirkan besaran indirect cost. Misal suatu program memiliki indirect cost yang disetujui sebesar 10%, maka pada Q1 NGO yang memiliki pengeluaran misal 500 Juta, berhak untuk mendapatkan indirect cost sebesar 50 juta. Dinamika lapangan kadang menciptakan penyerapan dana yang ditargetkan awalnya 500 Juta malah melampaui atau kurang dari yang dianggarkan sehingga terjadi baik under recovery, atau over recovery. Secara kasus lebih sering terjadi over recovery, dimana divisi finance NGO sudah lebih dulu mengambil 50 Juta indirect cost untuk keperluan operasional kantor, sedangkan proyeknya sendiri gagal melakukan penyerapan karena misalnya terpentok jadwal. Hal ini menjadi sangat berbahaya karena jika berkelanjutan NGO tersebut perlu melakukan pengembalian dana (ingat NGO tidak diperbolehkan mendapatkan profit).
6. Subgrant dan Subcontract
Secara penggunaan bahasa, Subcontract lebih sering terdengar dibandingkan subgrant. Subcontract merupakan praktik biasa korporasi untuk memberikan sebagian pekerjaan atau tender untuk dikerjakan perusahaan lain. Layaknya seperti subcontract, subgrant adalah memberikan sebagian dari grant yang didapatkan oleh suatu NGO untuk diberikan kepada NGO atau organisasi lain untuk menjadi bagian dari program, atau inisiatif tersebut. Saya pun dibuat bingung dengan penggunaan istilah ini, mengapa tidak semuanya disebut sebagai subcontract. Meskipun tidak ada standar baku dalam penggunaan istilah ini, saya berpegang teguh dan membuat definisi bahwa jika deliverables suatu pekerjaan mengikat dan pasti (tidak berbentuk riset) maka gunakan istilah subcontract, dan sisanya subgrant.
7. No Cost Extension (NCE)
No Cost Extension (NCE) adalah istilah yang benar-benar baru dan hampir pasti tidak ditemukan di korporasi. NCE lazimnya berarti suatu keadaan saat suatu organisasi nirlaba seperti NGO menyelesaikan suatu program atau inisiatif dengan menyisakan uang dari yang dianggarkan. Tidak jarang NGO tersebut meminta NCE kepada donor-nya dengan menambahkan cakupan pekerjaan tanpa meminta tambahan dana, dan hanya fokus menghabiskan dana anggaran tersisa.