Review Buku The Rise of Technosocialism: How Inequality, AI, and Climate will Usher in a New World

Sebagai pencinta teknologi, penggemar AI, dan pernah bekerja pada isu lingkungan, buku Technosocialism karangan Brett King dan Dr. Richard Petty ini sangat mencuri perhatian saya. Pasalnya tagline dari buku ini secara gamblang menuliskan bagaimana isu Ketimpangan, Artificial Intelligence, dan Perubahan Iklim akan mengantarkan kita ke dalam tatanan dunia baru. Penulisnya sendiri Brett King didapuk sebagai “King of Disruptors“, beliau adalah penasihat Financial Technology kabinet Presiden Obama, dan hingga kini konsisten mendakwahkan transformasi digital, dan kesiapan masa depan (future readiness). Buku ini diawali dengan refleksi ketidaksiapan dunia akan wabah COVID-19 yang menghancurkan tatanan sosial, politik, dan ekonomi dunia. Wabah COVID-19 membuka tabir seberapa buruknya tata kelola jaring pengaman sosial yang membuat jutaan orang jatuh miskin, dan kelaparan tidak lebih dari dua puluh satu (21) hari dari munculnya virus SARS CoV-2. Brett kemudian menuturkan bahwa perlu adanya perubahan besar-besaran dari tata kelola dunia khususnya dalam menghadapi Climate Crisis yang hingga kini umat manusia menuju kesana dalam kecepatan yang menakutkan. Menariknya kemunculan Artificial Intelligence menurutnya adalah angin segar umat manusia, yang mana dapat digunakan untuk menggantikan manusia dalam banyak sistem pemerintahan seperti politik, ekonomi, pajak, sosial, hukum, perizinan, kesehatan, lingkungan, dan pertanian yang memegang hajat hidup orang banyak namun sering diintervensi untuk memenangkan kepentingan golongan.


Technosocialism

Brett King dan Richard Petty berpendapat bahwa dunia sedang menuju era distopian. Mereka berargumen bahwa ketidaksetaraan yang semakin parah, dan perubahan iklim memaksa kita untuk memikirkan kembali sistem ekonomi dan sosial kita. Namun munculnya teknologi khususnya Artificial Intelligence, membawa angin segar perubahan dengan memperkenalkan istilah Technosocialism.

Technosocialism adalah model yang memanfaatkan teknologi untuk kebaikan bersama. Mereka membayangkan masa depan di mana otomatisasi banyak pekerjaan digantikan dengan pendapatan dasar universal (UBI) untuk memberi jaminan penghidupan. Teknologi juga digunakan untuk meningkatkan efisiensi di bidang-bidang seperti perawatan kesehatan dan energi, berpotensi membuat layanan ini lebih terjangkau dan berkelanjutan.

Namun penulis pun juga menyoroti perlunya beradaptasi dengan cepat dan bijak dalam menghadapi perubahan yang dibawa oleh teknologi. Khususnya sektor-sektor yang sudah sejak lama digeluti oleh manusia dan resisten untuk berubah seperti hukum, politik, dan kebijakan yang sering kali “gagal” dipimpin oleh manusia dengan banyaknya intervensi dan kepentingan. Namun hal tersebut tidak terjadi pada teknologi. Sebagai contoh tidak kurang dari tiga dekade peneliti dan ahli di berbagai dunia menunjukkan tanda-tanda adanya perubahan iklim dan dampaknya di masa mendatang, namun tidak pernah ada aksi nyata dalam melakukan perubahan. Malahan dunia bergerak menuju Climate Crisis dengan kecepatan yang lebih menakutkan dibanding tiga puluh tahun yang lalu.

Apakah ada Alternatif lain ?

Buku dengan 375 jumlah halaman ini juga meramalkan beberapa alternatif tata kelola lain pada 50 tahun ke depan jika Technosocialism tidak dilaksanakan. Sayangnya tidak satupun berakhir baik bagi kebanyakan orang :

1. Neo-Feodalisme

Kapitalisme tak terkendali yang menolak perlunya kesetaraan dan gagal menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang luas seiring dengan menurunnya lapangan kerja dan konsumsi. Perpecahan jangka panjang antara elit kaya dan miskin mencapai titik kulminasi dengan bergulirnya aksi-aksi revolusioner dan protes ketika kelas menengah “menguap”. Kelompok super kaya mendapatkan akses terhadap teknologi umur panjang, dan kelimpahan di daerah-daerah tertutup, sementara pengangguran massal, kelaparan, dan penyakit adalah hal biasa bagi mereka yang berada di luar wilayah tersebut.

2. Luddistan

Penolakan terhadap kemajuan teknologi, respons iklim yang lambat dan kebijakan yang tidak tepat akan menghambat perekonomian negara berujung pada resesi, depresi, dan krisis. Sementara krisis yang berkepanjangan akan menghambat pertumbuhan populasi produktif yang dapat menggerakkan roda perekonomian. Kota-kota pesisir menjadi tidak dapat dihuni karena naiknya permukaan air laut dan tanah menjadi tidak produktif. Kelangkaan pangan dan kelaparan meledak ketika panen gagal.

3. Failedistan

Negara-negara dengan perekonomian menengan ke bawah membuat aturan yang kacau dan reaktif seiring dengan runtuhnya iklim dan pasar akibat kurangnya perencanaan, pemikiran dan tindakan. Exodus besar-besaran akibat perubahan iklim menjadi tren di kalangan penduduk. Perbatasan runtuh dan perang sumber daya berkecamuk. Pemerintahan runtuh.