Pernahkah anda mendengar kawan atau kerabat anda yang lebih memilih ketinggalan dompetnya dibanding smartphone-nya ?. Atau yang lebih radikal lagi yakni lebih memilih kehilangan mobilnya dibandingkan kehilangan laptop-nya. Hal-hal tersebut merupakan dampak dari digitalisasi, yang membuat semua hal baik urusan profesional hingga personal tersedia dalam bentuk digital yang dapat diakses melalui smartphone, laptop, tablet, dan perangkat pintar lainnya.
Sudah menjadi suatu fakta bahwa perkembangan dalam era digital ini berjalan sangat cepatnya menembus batas, cara, ruang, dan zona waktu tradisional yang sebelumnya belum pernah terbayangkan. Seperti contoh fenomena digital nomad, orang yang hidup berpindah-pindah namun tetap bekerja untuk suatu perusahaan, dan tersambung dengan orang-orang di ujung lain dunia dari manapun dia berada. Lebih revolusionernya lagi, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Pandemi COVID-19 juga membuat insan bangsa ini semakin kreatif dalam menghadirkan apapun dengan akhiran online, tidak hanya sekolah, les, atau bekerja online, namun juga arisan online, pengajian online, halal bi halal online, mendatangi pernikahan online, dst. Kendati demikian tentunya ada oknum-oknum yang juga tidak mau ketinggalan untuk memindahkan usaha kriminal-nya di dunia digital, sehingga judi online, prostitusi online, dan penipuan online pun kerap bermunculan di Indonesia.
Di sektor ekonomi, transformasi digital membuka pintu terciptanya perusahaan paradox. Seperti kerap bermunculannya perusahaan media tanpa konten (facebook, twitter, instagram), perusahaan transportasi yang tidak memiliki kendaraan (Grab, Lyft, Gojek, dan Uber), perusahaan jual beli barang tanpa memiliki toko (Amazon, Tokopedia, Lazada, dan Shopee), perusahaan penginapan tanpa memiliki hotel (AirBnB, dan RedDoorz), dan masih banyak lagi macamnya. Dekatnya perekonomian dengan hajat hidup suatu bangsa tentunya menjadikan pengembangan digital di bidang ekonomi sebagai suatu perlombaan dalam menguasai pasar. Tak terelakkan bahwa pengembangan digital Indonesia perlu diperhatikan secara matang untuk meningkatkan daya saing dengan negara lain. Setidaknya terdapat enam pilar yang perlu diperhatikan dalam pengembangan digital di Indonesia.
1. Kedaulatan Digital (Digital Sovereignty)
Kedaulatan digital diartikan sebagai kendali negara terhadap layanan dan teknologi yang beroperasi pada wilayahnya, yang tentunya sedikit banyak bersentuhan dengan pembatasan dalam berbagai bentuk. Idealnya seluruh teknnologi yang digunakan di Indonesia merupakan produk jirih payah anak bangsa dengan swasembada teknologi. Kita dapat melihat bagaiman negara Tiongkok membatasi layanan facebook, whatsapp, instagram, twitter, dan google, yang kemudian memberikan ruang lahirnya layanan wechat, momo, pangpang, dan alibaba di negeri tiongkok yang kini mulai mendunia. Fenomena ini tidaklah baru, di teori ekonomi hal ini dikenal dengan istilah infant industry. Di mana pemerintah melindungi industri dalam negerinya untuk berkembang dan memiliki daya saing dengan industri asing dengan membatasi produk-produk asing. Samsung, Nokia, dan yang paling terkenal adalah Hyundai, dimana pemerintah Korea Selatan tidak mengizinkan mobil asing masuk korea selatan selama hampir dua dekade. Walhasil Hyundai menjadi salah satu brand otomotif ternama dunia kini.
Serupa dengan contoh Hyundai, Pemerintah Indonesia harus berani membuat kebijakan yang mengatur TKDN (Total Kandungan Dalam Negeri) digital sehingga membuka ruang untuk teknologi buatan anak bangsa tumbuh berkembang. Tentunya perlu direncanakan secara matang, seperti mempersiapkan ekosistem pendukung, kerangka peraturan, dan infrastruktur digital guna secara perlahan-lahan mengurangi ketergantungan penggunaan teknologi asing minimal bagi segenap pemerintahan Indonesia seperti penyedia layanan SSL (Secure Socket Layers) dalam negeri, mail server khusus Indonesia, Certificate Authority, hingga nantinya Operating System dan hardware-hardware buatan anak bangsa.
2. Inovasi Digital (Digital Innovation)
Di tengah tahun 1990-an hingga akhir 2000 Indonesia melewatkan fenomena inovasi internet yang mendunia yang kemudian menjadikan Amerika Serikat kiblat dunia informasi teknologi. Kemudian perusahaan asal Canada, Blackberry sempat mendunia terpaksa harus gulung tikar pada tahun 2010-an karena gagal berinovasi sehingga poros smartphone berpindah ke korea selatan (Samsung) dan Amerika Serikat (iPhone). 2020-an merupakan era Artificial Intelligence, Bio-informatics, dan Financial Tech, seyogya-nya Indonesia tidak boleh ketinggalan trend ini. Pemerintah Indonesia harus melakukan percepatan inovasi digital pada bidang-bidang tersebut dengan memberikan insentif baik bagi peneliti, universitas, dan perusahaan yang melakukan inovasi pada bidang tersebut. Sebagai contoh menggelontorkan lebih banyak dana penelitian bagi peneliti dan universitas, memberikan keringanan pajak untuk membangun pusat studi Artificial Intelligence bagi perusahaan, penghapusan biaya masuk alat-alat penelitian untuk bidang-bidang tersebut. Selain itu pemerintah Indonesia juga perlu memainkan peran convener untuk membangun ekosistem yang menselaraskan universitas, industri, dan pelaku digital untuk melahirkan ruang bagi inovasi yang siap bersaing. Sejarah mencatat bahwa sudah menjadi suatu keniscayaan kalau inovasi dapat memberikan daya tawar yang tinggi bagi negara yang menghasilkannya, yang tentunya sangat dibutuhkan bagi Indonesia dalam bersaing dengan negara asing.
3. Keamanan Digital (Cybersecurity)
Tingginya pengguna layanan digital juga meningkatkan jumlah oknum yang melakukan tindak-tanduk kriminal-nya pada domain digital. Hal ini melahirkan sub-bagian yang fokus pada memastikan perlindungan digital yang sering dikenal dengan sebutan Cybersecurity atau keamanan digital. Badan telokomunikasi dunia (ITU), menuturkan pada laporan Global Cyber Security Index, Indonesia bahkan tidak masuk peringkat 20 besar terpaut jauh dengan negara tetangga kita Malaysia yang menempati peringkat ke-10 di dunia. Ironisnya, anggaran Cybersecurity Malaysia hanya sepertiga dari anggaran Cybersecurity Indonesia yang mencapai sejumlah 624 Milliar Rupiah. Dalam mengembangkan sektor keamanan digital, penyerapan anggaran melalui pembelian alat dan pelatihan sumber daya manusia tidaklah cukup. Perlu dibentuk suatu produk hukum yang mengatur standar keamanan digital yang komprehensif dan berbobot, serta paling penting dipatuhi oleh lintas kementerian dan lembaga baik di level nasional maupun daerah. Misal yang paling krusial mewajibkan penggunaan protokol HTTPS untuk meningkatkan keamanan website–website pemerintahan.
4. Penguatan Infrastruktur Digital
Infrastruktur digital merupakan jantung yang menopang seluruh kegiatan digital. Setidaknya dua infrastruktur digital paling penting yakni akses internet berkualitas dan pusat data (data center). Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) menuturkan bahwa pada tahun 2022 tercatat sebanyak 215 juta orang pengguna Internet di Indonesia. Angka tersebut setara dengan 71% populasi Indonesia yang juga menempati peringkat ke-4 di Dunia, dan nomor-1 di ASEAN. Demi mencapai 100% populasi tentunya Indonesia tidak boleh luput untuk menghadirkan akses internet bagi daerah terluar, terdepan, dan tertinggal yang penuh dengan tantangan mengingat kontur negara kita yang berbentuk kepulauan.
Kita perlu berbangga telah rampungnya tiga mega proyek kabel fiber optic bawah laut palapa ring barat, timur dan tengah guna menghadirkan layanan broadband di Indonesia. Namun, hal tesebut masih jauh dari kata cukup untuk memastikan akses internet berkualitas untuk seluruh wilayah Indonesia. Diperlukan pengembangan inner ring seperti proyek palapa ring yang mengitari tengah Indonesia guna menghubungkan seluruh jaringan fiber optik di Indonesia untuk peningkatan kualitas. Sedangkan untuk peningkatan akses internet, Indonesia perlu merampungkan proyek Base Transceiver Station (BTS) di 4,200 titik terluar, terdalam, dan terdepan Indonesia sekaligus menambahnya.
Selain akses internet berkualitas, jumlah pusat data (data center) guna merumahkan data dan layanan digital di Indonesia juga perlu ditingkatkan. Berkaca pada negara tetangga kita Singapura, Data Center Map mencatatkan sejumlah 70 pusat data tersebar di seluruh Singapura, sedangkan Indonesia hanya sejumlah 59 pusat data. Dengan gejolak kebutuhan penyimpanan data yang tinggi di Indonesia, sangat disayangkan bila akhirnya pelaku digital di Indonesia harus menggunakan layanan pusat data di luar negeri. Perlu digagas suatu insentif untuk meningkatkan minat pelaku digital Indonesia dalam berinvestasi membangun pusat pusat data baru di Indonesia.
5. Literasi Digital (Digital Literation)
Meskipun menempati urutan ke-empat pengguna internet di dunia, UNESCO menuturkan bahwa tingkat literasi Indonesia menempati urutan ke 62 dari 70 negara. Tidak mengherankan jika tingkat penipuan digital di Indonesia kian marak. Belum lagi tingkat cyber-bullying dan penyebaran paham radikalisme yang kian mewabah, menunjukkan pengembangan literasi digital menjadi pondasi utama yang paling penting. Sektor pendidikan perlu menjadi panglima dalam mencerdaskan anak bangsa selain dari materi-materi konvensional lainnya. Banyak orang yang salah mengartikan bahwa pendidikan digital terbatas pada mengajarkan bahasa pemrograman, namun faktanya dunia digital yang lebih dekat, dan penting justru literasi digital untuk anak. Anak-anak perlu dicerdaskan bahwa berbicara sopan dan santun tidak hanya berhenti di ruang fisik, namun juga di ruang digital. Investasi ini kerap tidak populer, mengingat dampaknya tidak langsung terasa. Tetapi meskipun jumlah anak hanya 25% dari total populasi, namun mereka sudah pasti menjadi 100% masa depan bangsa Indonesia.
6. Layanan Publik Digital (E-Government)
Pilar terakhir yang perlu dikembangkan adalah layanan publik digital yang lebih populer dikenal dengan sebutan e-government. Sudah seharusnya pemerintah memanfaatkan teknologi dalam memberikan layanan publik yang memudahkan masyarakat. Hanya saja masih banyak layanan publik digital yang tidak efektif, baik tampilan dan formulir yang tidak informatif, hingga ketersediaan layanan yang buruk (server down). Terjadi kesalah pahaman pada kebanyakan birokrat di Indonesia bahwa layanan digital merupakan obat mujarab. Faktanya layanan digital hanya memindahkan proses yang sebelumnya fisik menjadi digital. Sehingga yang perlu dievaluasi untuk mengembangkan layanan publik digital yang efektif adalah memperbaiki proses-nya. Perlunya membangun prosedur-prosedur layanan yang memudahkan pengguna (user-centered design) yang mampu menciptakan layanan publik yang efektif bahkan melampaui batas-batas administratif.
Enam pilar pengembangan digital ini penting bagi bangsa Indonesia guna menyongsong Indonesia yang dapat bersaing dengan negara asing di era digital yang berlari tanpa batasan ruang dan waktu. Dirgahayu bangsaku, semoga genap 78 tahun berdiri kau tetap kuat dan kokoh menopang hajat hidup 277 juta jiwa yang masih setia kepadamu.
———————
Fadhli Zakiy
Technology Enthusiast, IT Principal, Full Stack Developer, Project Manager, and Sustainable Innovator