Teknologi, Inovasi, dan Politik merupakan tiga poros yang saya percayai dapat mengantarkan Indonesia menjadi negara maju dalam panggung internasional. Tiga hal ini juga saya temukan dalam empat buku yang saya tamatkan pada tahun ini Why Nations Fail – Daron Acemoglu (2012); The End of Poverty – Jeffrey Sachs (2005); Failed States – Noam Chomsky (2004); dan Confessions of an Economic Hit Man – John Perkins (2004). Meskipun buku-buku ini memiliki fokus yang berbeda-beda dari budaya, pengentasan kemiskinan, kebijakan internasional, hingga kedaulatan negara, namun semuanya memiliki kesimpulan bahwa Teknologi, Inovasi, dan Politik merupakan formula penting untuk menjadi negara Maju. Sekalipun kebanyakan dari buku ini berjarak hampir dua puluh tahun dari sekarang, namun isinya masih sangat relevan.
Teknologi: Adopsi Perbaikan Massal
Secara filosofis Teknologi dipahami secara massal sebagai suatu alat, atau sarana untuk memudahkan hidup manusia. Memudahkan dalam hal ini termasuk kehidupan sehari-hari manusia, seperti kulkas di rumah anda, vacuum cleaner, hingga crane–crane besar untuk membuat pencakar langit. Pada buku Why Nations Fail, data menunjukkan bahwa pada tahun 1800-an seluruh dunia hampir memiliki tingkat kesejahteraan yang sama. Namun dalam waktu 200 tahun kita mulai melihat ada bagian dunia yang sangat kaya, dan ada yang sangat miskin. Secara umum negara-negara maju hari ini, adalah negara-negara yang berinvestasi dalam mengadopsi teknologi pada pasca perang dunia pertama, dan paling telat pasca perang dunia kedua.
Saya melihat adopsi teknologi bukan sekedar perbaikan level individu, melainkan suatu lomba secara komunal melawan negara lain. Satu orang dengan teknologi baru, tidak akan dapat menggunakannya di tengah komunitas yang tidak menggunakannya. Misal anda membeli perangkat 6G dari Tiongkok lalu di bawa ke Indonesia yang sama sekali tidak memiliki infrastruktur 6G. Perangkat anda tidak dapat digunakan, atau kapasitasnya berhenti di 5G. Dengan Tiongkok sudah menggunakan 6G dapat dipastikan bahwa negara yang tidak menggunakan teknologi yang sepadan akan tertinggal secara perlahan. Bayangkan apa yang akan terjadi dengan keterlambatan adopsi teknologi tersebut selama puluhan tahun, maka perbedaan negara yang menggunakan teknologi dengan yang tidak menjadi semakin jauh tertinggal.
Indonesia termasuk terlambat dalam adopsi teknologi termasuk masuk ke dalam arusnya. Pada tahun 1980-an saat dunia mulai Investasi pada Personal Computer (PC), Indonesia tertinggal. 1990-an saat lomba Internet dan .com-boom, Indonesia pun terlambat. Tahun 2000-an melahirkan berbagai raksasa mobile seperti Nokia, Blackberry, dan bahkan saat itu Samsung pun baru mau memulai, Indonesia juga tidak ikut investasi di sana. 2010-an zaman sosial media bermunculan, Indonesia hanya fokus menjadi penikmat, dan pembuat konten. 2020-an ini merupakan era Artificial Intelligence (AI), maka apakah Indonesia akan tetap berdiam diri ?
Bagaimana mungkin hal tersebut terjadi ? Hasil refleksi saya dan konfirmasi dari Buku The End of Poverty, kunci dari suksesnya adopsi teknologi tumbuh dari suburnya iklim inovasi suatu negara. Iklim Inovasi ini tersebar tidak hanya dalam satu sektor, namun melibatkan Pemerintah, Swasta, Industri, dan Akademik. Lantas bagaimana cara membangun iklim Inovasi ?
Inovasi: Pil Pahit Pertumbuhan Ekonomi
Inovasi identik dengan penemuan dalam teknologi. Meskipun komponen teknologi dalam Inovasi memegang peranan besar, namun Inovasi itu sendiri tidak terbatas hanya pada bidang teknologi. Inovasi merupakan cara baru menyelesaikan suatu masalah, atau mencapai tujuan secara lebih efektif, dan efisien. Cara baru inilah yang diterjemahkan dengan akuisisi teknologi, peningkatan kompetensi, atau perubahan proses. Sebagai contoh: Penemuan Api zaman purbakala adalah inovasi, begitu juga penemuan Benua Baru Amerika pada zamannya, hingga penemuan Generative-AI dewasa ini.
Suatu keniscayaan bahwa Inovasi membawa perbaikan, namun suka-tidak suka perubahan yang dibawa oleh Inovasi berdampak “negatif” untuk sebagian pihak. Semakin besar penemuannya, maka semakin besar pula dampak yang dirasakan oleh pihak lainnya. Hal ini sering disebut dengan istilah “Creative Destruction” atau “Disruptive Innovation”. Mengapa disebut disruptif atau mengganggu karena membawa perubahan yang sangat signifikan dan menggoyangkan kestabilan yang ada termasuk tidak dipakai laginya suatu sumber daya, atau tidak lagi dibutuhkannya suatu pekerjaan.
James Watt, seorang penemu asal Skotlandia, kita kenal sebagai penemu mesin uap. Namun cerita pahit dibalik penemuannya jarang kita dengar. Penemuannya ditolak untuk diadopsi oleh raja yang berkuasa, dan anaknya, baru pada masa cucunya naik tahta penemuan tersebut diterima. Baik raja pertama, dan kedua, memahami betul keuntungan dari mengadopsi mesin uap yang pada masa itu akan diujicobakan pada industri textil. Namun mereka menolak untuk mengadopsi dikarenakan takut akan banyaknya orang yang akan kehilangan pekerjaan dalam semalam. Sedangkan raja ketiga memahami betul bahwa akan ada kegaduhan dalam semalam, namun hal ini akan mengantarkan Skotlandia menjadi bangsa yang maju. Sang raja ketiga juga menyiapkan bagaimana mitigasi dan pelatihan orang-orang yang sebelumnya sebagai perajut textil menjadi teknisi, operator, teknisi warehouse, dan logistik karena produksi meningkat 10 kali lipat.
Kembali ke Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam dan potensi pasar yang besar, saya meyakini ada ratusan James Watt di Indonesia, termasuk salah satunya Almarhum B.J. Habibie. Namun dengan iklim Inovasi yang belum begitu subur, diperlukan usaha yang cukup besar untuk membuat suatu penemuan take off di Indonesia. Terlebih lagi meningkatnya kompleksitas teknologi, membutuhkan banyaknya orang dengan pendidikan tinggi dan spesifik untuk mendukung penelitian yang matang. Investasi dalam mengedukasi generasi muda tentang teknologi terbaru, dan keterampilan praktis menjadi kunci utama meningkatkan daya saing Indonesia di panggung internasional. Program-program pelatihan dan pengembangan keterampilan harus didorong untuk menciptakan tenaga kerja yang adaptif dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Jika sebelumnya kita memahami bahwa inti dari adopsi teknologi adalah suburnya iklim inovasi, kini kita memahami bahwa jantung dari inovasi adalah kemauan politik. Daron Acemoglu pada bukunya menyebutkan bahwa inovasi adalah pengorbanan hari ini untuk mendapatkan lebih pada hari esok.
Politik: Stabilitas dan Kebijakan yang Mendorong Inovasi
Politik memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi inovasi dan teknologi. Dalam bukunya Failed States, Noam Chomsky menjelaskan bagaimana ketidakstabilan politik dapat menghambat kemajuan suatu negara. Saat negara-negara lain sedang berlomba dengan .com-boom, Indonesia baru masuk keluar dari Orde Baru memasuki masa Reformasi. Lantas saat negara-negara lain sedang berlomba terbang ke Bulan, apakah Indonesia masih ingin berkutat dengan drama-drama politik yang membuat stabilitas politik terganggu ?. Karena data membuktikan bahwa stabilitas politik dan kebijakan yang mendukung mempermudah masuknya Investasi Asing.
Silakan renungkan bagaimana kota Dubai, ibukota United Emirate Arab, dapat berkembang begitu pesatnya dalam 30 tahun terakhir. United Emirate Arab adalah negara minyak, namun tidak takut menggunakan energi terbarukan yang dapat merugikan pengusaha-pengusaha minyak besar. Bahkan berani membuat sayembara dengan hadiah besar untuk para aparatur sipil negaranya untuk melakukan inovasi untuk memotong dan mengefektifkan birokrasi.
Apakah anggota dewan kita, dan para pemegang kebijakan kita tidak mengetahui benefit dari adopsi teknologi, dan inovasi. Saya sangat meyakini mereka adalah orang-orang cerdas dengan pendidikan tinggi, dan logika yang matang. Sayangnya tidak sedikit dari mereka terbelenggu karena kalah banyak suara (minoritas), ingin menyenangkan semua pihak, atau yang paling parah terhutang dengan pihak-pihak yang mendorong untuk tidak terjadinya perubahan. Kita beranjak ke Amerika Serikat, Charles dan David Koch, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Koch Brothers, adalah lobbyists parlemen Amerika Serikat agar dana investasi Jalan, Tol, Tempat Parkir, dan Jembatan lebih diperbanyak dibandingkan investasi terhadap angkutan publik. Hasilnya anda dapat bandingkan kualitas subway New York yang jauh lebih buruk dibandingkan MRT Jakarta. Untuk kasus Amerika, terdapat banyak sekali Koch Brothers lainnya untuk sektor-sektor lainnya seperti Industri Senjata yang lebih memilih perang dibanding damai, Industri Obat yang mematok harga obat di Amerika Serikat paling mahal dibandingkan seluruh tempat di Dunia, dan lainnya.
Indonesia masih memiliki harapan untuk dapat melompat menjadi negara yang berdaulat di panggung internasional melalui adopsi teknologi, dengan iklim inovasi yang subur. Diperlukan anggota-anggota Dewan, dan pejabat eksekutif yang berani menyuarakan perubahan dengan tetap menjaga kestabilan negara, karena adopsi teknologi, dan inovasi tidak akan tercapai tanpa kemauan politik.
Selamat Bertugas Kepada Bapak Presiden terpilih, jajaran kabinetnya, dan kepada anggota-anggota Dewan legislatif. Kepadamulah nasib bangsa ini kami percayakan.